BERITANU.NET, BEKASI-Kasus pencabulan beberapa anak perempuan di Kabupaten Bekasi yang dilakukan oleh seorang bapak (Sudin bin Mulin, 51) dan anaknya (Muhammad Hadi Sopyan, 29) yang merupakan oknum guru ngaji mendapat sorotan dari Yayasan Pesantren Ramah Anak (YPRA).
“Beberapa media massa menyebut tempat kejadian perkara adalah pesantren dan korbannya adalah santriwati yang bersumber dari pernyataan masyarakat setempat atau para orang tua murid yang tidak bisa membedakan tempat pengajian dengan pesantren karena ada kegiatan menginapnya yang mirip pesantren. Padahal tempat kejadian perkara tersebut adalah tempat pengajian pseudo pesantren atau pesantren palsu!” Tegas Pembina YPRA, KH Rakhmad Zailani Kiki atau Ustadz Kiki.
Lebih lanjut Ustadz Kiki menyatakan bahwa salah modus yang kerap dilakukan para pelaku kejahatan seksual saat ini adalah menjadikan tempat tinggal mereka sebagai tempat pengajian anak-anak untuk menjerat para korban guna melampiaskan nafsu syahwat mereka. Modus ini akan sering digunakan para pelaku kejahatan seksual selama masyarakat, khususnya para orang tua, tidak dapat membedakan pesantren dengan pseudo pesantren atau pesantren palsu.
“Insan pers, masyarakat atau orang tua harus tahu dan paham tentang ciri-ciri pseudo pesantren. Minimal ada empat ciri, yaitu: Pertama, tidak ada figur kiai atau guru agama yang menjadi sentral aktivitas kegiatan pengajiannya, guru tersebut belum dikenal sebagai tokoh agama dan belum menjadi panutan masyarakat di sekitarnya; kedua, kurikulum pembelajarannya tidak mengikuti kurikulum pesantren yang memiliki sanad keilmuan yang jelas; ketiga, memiliki aktivitas menginap untuk peserta didik namun tidak memiliki tempat penginapan yang layak dan terpisah dari tempat tinggal pengasuh atau pengajar; dan keempat, tidak memiliki izin operasional sebagai tempat pengajian atau pesantren dari kementerian agama setempat,” ujar Ustadz Kiki.
Karenanya, YPRA menghimbau kepada masyarakat, khsususnya orang tua, jika di wilayah tempat tinggalnya ada tempat pengajian yang menamakan atau disebut dengan pesantren namun memiliki empat ciri tersebut untuk waspada dengan tidak memasukkan anak-anaknya untuk mengaji di tempat tersebut. Masyarakat juga harus pro aktif dengan melibatkan aparat dan kementerian agama setempat untuk menuntut dan mendesak kepada pihak penyelenggara pesantren agar menutup aktivitas pengajiannya jika masih memiliki empat ciri tersebut sebagai upaya preventif terulangnya kejadian seperti kasus di Kabupaten Bekasi tersebut.