Beritanu.net– Pesantren dikenal oleh masyarakat sebagai lembaga yang menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman bahkan memiliki prinsip yang bertujuan untuk menjaga warisan para ulama’ salafunassaleh baik dari segi karya, tindakan maupun pemikirannya.
Dalam menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman tersebut, pesantren tidak hanya mempelajari teori semata. Implementasi dari nilai-nilai tersebut diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, yang biasanya dipimpin oleh ustadz, kiai, atau pengurus pondok. Tradisi-tradisi seperti ngaji kitab kuning, menghafal al-Qur’an, bahtsul masa’il, dan lainnya menjadi bagian integral dari lingkungan pesantren.
Salah satu tradisi yang kurang menjadi perhatian oleh masyarakat umum adalah tradisi ro’an di Pesantren. Ro’an merupakan kerja bakti untuk membersihkan lingkungan.
Dalam penerapannya, ro’an pesantren biasanya dilakukan oleh santri secara bersama-sama untuk membersihkan lingkungan pondok seperti lapangan pondok, kamar mandi, lantai dan ada juga yang bersih-bersih di ndalem atau rumah kiai.
Masing-masing pondok pesantren memiliki jadwal yang berbeda untuk ro’an, ada yang jadwal ro’annya setiap hari berdasarkan kamar masing-masing secara bergilir dan ada juga yang jadwal ro’annya ketika hari libur. Tujuan dari dibuatnya jadwal ini agar mempermudah santri untuk membangun kekompakan ketika kerja bakti
Sehingga, melalui tradisi ini secara tidak langsung santri dididik untuk merawat dan menjaga lingkungan agar tetap sehat. Tradisi ro’an menjadi bagian penting untuk menumbuhkan kesadaran ekologis bagi santri bahwa kehidupan manusia memiliki hubungan erat dengan alam. Jika lingkungan rusak maka akan berdampak pada kesehatan dan keberlangsungan hidup manusia, misalnya sampah-sampah yang berserakan di lingkungan dan diselokan jika tidak segera dibersihkan akan berdampak banjir atau akan menganggu kesehatan.
Tentunya hal ini sejalan dengan daruriyatul khoms, di mana salah satu yang wajib dijaga oleh manusia atas dirinya adalah hifdzu al-nafs (menjaga jiwa). Menurut Abdullah Kholaf wajib bagi manusia untuk menjaga kebutuhan yang menjadi bahan untuk keberlangsungan hidupnya baik dari segi makanan, minuman maupun tempat tinggal serta wajib mencegah segala sesuatu yang dapat menimbulkan mudharat pada dirinya. (Abdullah Kholaf, Ilm al-Usul al-Fiqh, hlm. 201)
Maksud dari hifdzu al-nafs di sini, selain mewajibkan agar manusia menjaga keberlangsungan hidupnya, maka ia juga dituntut untuk menghindari segala sesuatu yang membuatnya celaka. Tidak cukup hanya sekedar memiliki sandang, pangan ataupun papan, sementara lingkungan sekitar atau tempat yang dihuninya dipenuhi dengan sampah dan kotoran yang mengakibatkan kesehatannya terancam
Sehingga, tradisi ro’an pesantren yang dilakukan secara bersama-sama akan lebih mengena apabila para santri dibekali dengan pemahaman yang dapat menumbuhkan kesadaran bahwa tidak ada yang superior dan inferior antara manusia dan alam. Manusia tidak pantas menganggap dirinya sebagai superior atau bersikap penguasa yang dapat semaunya mengekploitasi alam. Karena pada hakikatnya, tujuan manusia diciptakan ialah hanya untuk beribadah kepada-Nya.
Rasul SAW sendiri menganjurkan umatnya untuk melestarikan alam, sebagaimana sabdanya, “Tidaklah seorang muslim bercocok tanam, kecuali setiap tanaman yang dimakannya bernilai sedekah baginya, yang dicuri orang darinya menjadi sedekah baginya…” (H.R Muslim).
Hal ini merupakan keistimewan bagi seorag muslim. Menanam sesuatu dianggap bersedekah baik tanaman tersebut bermanfaat secara langsung baginya atau tidak. Dengan menanam sesuatu, secara tidak langsung menjadi sebuah upaya agar menjaga ekosistem lain dan mengambil manfaat dari yang ditanam tersebut.
Oleh sebab itu, memandang era modern yang serba canggih dan maraknya pemahaman dualisme dengan memisahkan antara alam dan manusia, tradisi ro’an pesantren harus tetap dipertahankan guna mencetak generasi bangsa yang memiliki pemahaman mendalam tentang ekologis bahwa alam dan manusia sama-sama saling berkaitan satu sama lain. Manusia sebagai mahluk yang menempati bumi harus menjaga bumi agar tetap sehat.
(Tulisan kontributor Lukman Hakim, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UINSA Surabaya)
Editor: Wiwit Musaadah