Oleh: Muhammad Rofi`i Mukhlis
Ketua Umum Barisan Ksatria Nusantara (BKN)
Pasca Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) Ke-34 di Lampung yang diselenggarakan dari tanggal 22 s.d 23 Desember 2021 yang mengusung tema “Satu Abad NU: Kemandirian dalam Berkhidmat untuk Peradaban Dunia” nampaknya PBNU, di bawah kepemimpnan KH Yahya Cholil Staquf, benar-benar melaksanakan tema muktamar tersebut. NU mandiri, berdiri sendiri dan melepaskan diri dari kepentingan partai politik. NU menjaga jarak dengan partai politik, termasuk dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang lahir dari rahimnya sendiri. PKB tidak lagi menjadi anak kandung yang selama kepemimpinan PBNU sebelumnya menempel dan dimanja oleh NU. PKB oleh PBNU dilepas dari dekapan untuk mandiri dalam bertarung dengan partai-partai politik lainnya dalam merebut suara Nahdlyiyyin.
Sikap PBNU ini tentu mengecewakan si anak kandung, PKB. Tapi suka tidak suka, jika membaca AD/ART NU hasil Keputusan Muktamar ke-34 NU di Lampung di BAB IV mengenai Tujuan dan Usaha, sikap PBNU tersebut sudah on the track. Bunyi dari bab tersebut sebagai berikut: BAB IV TUJUAN DAN USAHA Pasal 8 (1) Nahdlatul Ulama adalah perkumpulan/jam’iyah diniyyah islamiyyah ijtima’iyyah (perkumpulan sosial keagamaan Islam) untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa, dan ketinggian harkat dan martabat manusia. (2) Tujuan Nahdlatul Ulama adalah berlakunya ajaran Islam yang menganut faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang berkeadilan demi kemaslahatan, kesejahteraan umat dan demi terciptanya rahmat bagi semesta.
Karenanya, dengan membaca pasal 8 dengan dua ayatnya dari AD/ART NU tersebut, semua sepakat bahwa NU adalah entitas perkumpulan sosial keagamaan Islam yang berbeda dengan anak kandungnya, PKB, yang merupakan entitas partai politik. Jika sebelum Muktamar NU ke-34 di Lampung PKB difasilitasi oleh PBNU untuk dapat meraih suara Nahdliyyin karena memang masih dalam masanya untuk difasilitasi walau memang ada kerugian tersendiri bagi NU dan mengecewakan Nahdliyyin lainnya yang berada di partai-partai lain karena menganggap PBNU tidak menjalankan fungsinya dan menyalahi eksistensinya sebagai organisasi masyarakat yang seharunya tidak ikut campur dalam urusan politik, ikut berpolitik praktis, melalui dan atau bersama PKB.
Walau harus juga diakui, dan ini menjadi PR tersendiri bagi PBNU, ada beberapa kali para petinggi PBNU melakukan blunder dengan tindakan-tindakan yang sangat terasa mau memisahkan Nahdliyyin di berbagai jenjang struktur NU dari PKB, dengan kata lain PBNU terkesan membenci PKB, namun di saat bersamaan malah bermesraaan dengan partai-partai politik lainnya dan ini tentu sangat mengecewakan PKB dan juga sebagian Nahdliyyin, namun jangan sampai terjadi permusuhan dan menciptakan konflik terbuka yang tentu merugikan NU dan PKB sendiri. Ibaratnya, seperti yang disampaikan oleh KH Rakhmad Zailani Kiki di Podcast PadasukaTV, bagaimanapun PKB adalah anak kandung, dan NU adalah ibunya PKB. Anak kandung yang baik, yang sholeh, jika ribut dengan ibunya harus tetap berpegang kepada adab. Sejelek-jeleknya ibu kandung, tetaplah ibu kandung yang harus dihormati. Dan sehebat-hebatnya PKB, sedewasa-dewasanya PKB, tetaplah anak yang tetap menjadi adab dalam berkomunikasi terhadap ibunya. Sebagai anak kandung, tentunya PKB yang harus mendatangi PBNU untuk menghilangkan kekecewaan dan mencairkan suasana.
Akhir kalam, yang saat ini perlu disadari oleh PKB adalah adanya oknum yang seakan cinta PKB malah dengan propaganda politiknya mengadudomba; menjauhkan NU dari PKB yang dapat menghancurkan perolehan suara PKB di pemilu tahun 2024. Waspadalah! *