BERITA NU-Berkaca pada negara-negara maju seperti Jepang, terdapat fenomena yang kian mencuat dan ramai diperbincangkan pada lingkup international salah satunya adalah “Childfree” atau dikenal dengan keputusan seseorang untuk tidak mempunyai anak setelah menikah. Berkaitan dengan itu, Badan Eksekutif Mahasiswa menjadikan hal tersebut sebagai mosi Kompetesi Debat ilmiah (KDMU) II dalam hajat Dies Natalis Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia pada Rabu 26 Juli 2023.
Fenomena ini diperdebatkan pada babak semifinal oleh Prodi Ilmu Hukum dan Prodi Sistem Informasi. Sebagai tim pro, debaters dari Prodi Ilmu Hukum berpendapat bahwa seyogyanya kita sebagai manusia menghargai keputusan sepasang suami istri untuk tidak memiliki anak, apalagi jika ditinjau dari segi hak asasi manusia.
“jika dilihat dari perspektif hak asasi manusia, memilih untuk tidak memiliki anak setelah menikah memang suatu hal yang dapat dikatakan wajar dan tidak salah. Mengapa? karena setiap indivisu berhak untuk memutuskan setiap hal dalam kehidupannya masing-masing. Sehingga, kita harus menghargai dan menghormati prinsip hidup orang lain dengan tidak menghujat ataupun menebar ujaran kebencian.” Ujarnya.
Pendapat tersebut tentu saja mendapat penolakan dari Prodi Sistem Informasi sebagai tim kontra. Mengutip hadist Nabi Muhammad SAW mereka mengatakan bahwa memiliki keturunan adalah sunnah (dianjurkan). Dari Anas bin malik radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shalallahu alaihi wassalam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras untuk membujang dan berkata, “nikahilah wanita yang penyayang dan subur karena aku akan berbangga dengan kalian dihadapan para nabi pada hari kiamat.” (HR. Ibnu Hibban).
Selain daripada itu, terdapat dua ayat Al-Qur’an yang dijadikan argumentasi, diantaranya adalah QS. Maryam:7 dan QS. Hud: 71, kedua ayat tersebut mempunyai substansi bahwa dengan adanya kelahiran anak sebagai keturunan dari sepasang suami istri seyogyanya menjadi kabar gembira dan berkah.
Lebih jauh, tim pro berpendapat bahwa salah satu faedah bagi orangtua yang memiliki anak yakni dapat menjadi pelingdung baginya dari api neraka dan dapat mengangkat derajat orangtuanya di surga kelak. Hal ini dikaitkan dengan hadist Nabi Muhammad “Barang siapa mendapat suatu ujian dari anak-anak perempuan ini, lalu ia tetap memperlakukan mereka dengan baik, kelak mereka akan menjadi penghalang baginya dari neraka.” (HR. Bukhari).
Namun, penting juga untuk mencatat bahwa Islam memberikan ruang kelonggaran perencanaan keluarga dalam beberapa situasi khusus. Misalnya, jika ada kondisi kesehatan atau alasan tertentu yang dapat membahayakan kesejahteraan fisik atau mental pasangan, Islam memperbolehkan penundaan atau penghindaran kehamilan untuk sementara waktu. Keputusan ini sering kali diambil berdasarkan konsultasi dengan ahli medis dan pertimbangan kondisi yang ada.
Dalam hal ini, ada juga prinsip dalam Islam yang menekankan kebijaksanaan dalam menghadapi kondisi dan keadaan yang sulit. Tidak semua pasangan dapat atau cocok memiliki anak, dan Islam memahami kondisi-kondisi tertentu yang dapat membuat situasi menjadi lebih rumit.
Perencanaan keluarga juga dianggap sah dalam Islam selama dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan hukum agama dan etika Islam. Hal ini memungkinkan pasangan untuk mengambil keputusan tentang keluarga mereka dengan bijaksana dan bertanggung jawab.
Penting untuk mencatat bahwa interpretasi agama dapat berbeda-beda di antara individu dan ulama, dan terkadang konteks sosial dan kultural juga mempengaruhi pandangan tentang isu-isu ini. Oleh karena itu, penting untuk mendiskusikan isu-isu seperti ini dengan ahli agama atau cendekiawan Islam untuk memahami lebih dalam tentang perspektif agama terkait perencanaan keluarga dan keturunan.
Author: Abdurrohman Mubarok