Oleh Khotimi Bahri
Wakil Ketua Umum BKN (Barisan Ksatria Nasional)
Perhelatan muktamar NU yang ke 34 akan digelar akhir tahun ini. Tensinya pun mulai terasa. Banyak isu-isu yang beredar menjelang perhelatan akbar Nahdlatul Ulama ini.
Yang terkini dan menjadi tren pemberitaan adalah seputar kandidat calon ketua umum mendatang. Begitu dominannya isu ini, bahkan bahsul masail yang menghasilkan tinjauan hukum terhadap daging berbasis sel pun tenggelam di bawah diskursus calon nakhoda PBNU mendatang.
Tidak bisa dipungkiri, wacana yang berkembang mengarah pada saling silang kepentingan (cross cutting of interest) dan saling silang kelompok (cross cutting of community). Menyeruak opini rivalitas HMI dan PMII dalam muktamar yang akan digelar di Lampung ini. Juga mulai masuk dalam lingkaran diskursus persaingan antar kubu Golkar dan kubu PKB, juga PPP. Belum lagi faktor kedaerahan yang menyeret calon berbasis daerah, baik Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah maupun non-jawa.
Semestinya, isu berbau primordialisme ini tidak muncul atau dimunculkan menjelang muktamar kali ini, mengapa? Karena isu itu justru mengkerdilkan NU sebagai organisasi keagamaan terbesar di dunia.
Justru masuknya mantan aktifis HMI, PMII, dan Parpol, ke dalam rumah besar NU, akan menjadikan NU kekuatan civil society yang makin solid dan semakin diperhitungkan. Selain akan mencitrakan NU sebagai konsolidator ukhuwwah Islamiyyah dan friendly terhadap semua kadernya yang “mencari ilmu dan pengalaman” di banyak tempat justru akan memperkuat posisi NU.
Pola pikir sektarian dan primordial mengandung banyak kerugian:
Pertama, pandangan yang “membelah”, tidak sesuai prinsip ukhuwwah Islam, tidak sesuai dengan sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia”.
Kedua, merusak kohesi dan integrasi Nasional. Alih-alih menjadi pemersatu semua anak bangsa dengan perbedaan agama, bahasa dan suku, mengelola perbedaan kecil internal saja, tak mampu mengkonsolidasi. Begitulah kesan yang akan timbul di memori Publik, bila pandangan sempit ini mendominasi cara pandang muktamirin.
Ketiga, akan muncul rasa alienasi pada kader NU yang tidak terakomodir hanya karena alasan primordial. Sikap “penganaktirian” ini akan menjadi “konflik bawaan” yang tidak produktif bagi masa depan NU. Performa sosio-kultural dan “politik NU” yang cacat bawaan ini akan merusak citra NU dan menyempitkan perannya sebagai kekuatan civil society terbesar di Indonesia. Karena “DNA” kader yang berdiaspora kebeberapa organisasi, itu sama-sama NU, hanya karena beda lingkungan pengasuhan, mereka mengalami diskriminasi.
Di tengah ancaman disintegrasi kader ini, sangat penting hadirnya sosok yang altruis, mengayomi dan bisa diterima semua golongan. Sosok Kyai Said Aqil Siraj bisa menjadì jawaban persoalan ini. Memang Kyai Said pernah mengungkapkan tidak akan mencalonkan diri pada muktamar mendatang. Akan tetapi mata batin dan mata lahir beberapa kyai sepuh sangat awas dan cermat membaca tantangan yang akan dihadapi NU mendatang. Sangat wajar kalau kemudian para kyai sepuh panutan jam’iyah ini meminta dan mendorong Kyai Said untuk mengambil alih nakhoda NU pada masa khidmat mendatang. Tentu dalam tradisi NU yang berpegang teguh pada etika kyai-santri tidak etis menolak permintaan para kyai.
Paling tidak ,ada tiga argumen prinsip mengapa sosok Kyai Said Aqil Siraj layak melanjutkan kepemimpinannya :
Pertama. dua periode beliau memimpin NU, mampu menjadikan jam’iyah ini sebagai pusaran moderasi Islam. Pengakuan ini bukan hanya di nusantara tapi juga didunia Internasional. Taliban Afghanistan yang dijadikan prototype gerakan radikal dalam Islam menyambangi PBNU untuk belajar moderasi Islam. Saudi yang dianggap negara dengan ideologi salafi-wahabi juga mulai melirik NU. Syechul Azhar Mesir menyambangi PBNU untuk membangun kesepahaman dan bersinergi dalam menegakkan Islam yang moderat.
Kedua, sosok Kyai Said yang altruis menjadi perekat yang tepat bagi bangsa yang majemuk ini. Altruism identik dengan kebajikan. Juga identik dengan kepedulian dan pembelaan terhadap kelompok marjinal. Kyai Said berani melawan arus, membela hak-hak Badan Perguruan Sekolah Menengah Kresten Jawa Barat (BPSMK JB) yang mendapatkan perlakuan deskriminatif. Bukan tanpa resiko. Hujatan, nyinyiran dan cercaan menjadi pemandangan yang biasa. Juga ketika bersuara lantang mendukung peringatan Asyuro setiap 10 Muharrom. Tak ayal lagi tuduhan Syiah tidak dapat dihindari. Padahal beliau dengan tegas menolak cara-cara Syiah yang berlebihan dan menyakiti diri sendiri. Tapi semua kecaman, cercaan dan nyinyiran disikapi dengan tenang, tidak reaktif. Ini menunjukkan kemapanan spiritual dan kematangan intelektual dari sosok sang nakhoda NU.
Ketiga, obyektifitas dan proporsionalitas Kyai Said yang sudah teruji. Terpilihnya KH. Ma’ruf Amien, Rais Amm, sebagai wakil presiden tidak membuat PBNU kehilangan nalar kritisnya. Ini bisa dibuktikan dengan penolakannya terhadap UU Ciptaker sekalipun presiden RI langsung turun tangan menyambangi kantor PBNU.
Kita yakin bahwa nakhoda PBNU sudah ditentukan dari ‘langit’. Tapi ikhtiar berjuang secara jujur, ellegan, dan bermartabat adalah perintah ‘langit’. Kepada Allah kita kembalikan segala urusan.*