Oleh: Rakhmad Zailani Kiki
Peneliti dan Penulis Sejarah Islam dan NU di Jakarta
“Di Pertempuran Surabaya, 10 November 1945, Hanya Ada (Kekuatan) NU. Tidak ada Muhammadiyah, Persis dan lainnya,” ujar Prof. Ahmad Mansur Suryanegara kepada saya saat saya berkunjung ke rumahnya di Margahayu, Bandung, Jawa Barat (9/10/2022).
Prof. Ahmad Mansur Suryanegera, sejarawan dan penulis buku yang menjadi masterpiece-nya, yaitu Api Sejarah, bukan orang baru dalam hidup saya. Beliau sudah saya anggap salah seorang guru dan mentor saya dalam riset dan penulisan sejarah Islam di Nusantara, khususnya di Indonesia. Kunjungan saya ke rumah Beliau sore itu sebagai bentuk adab seorang murid kepada gurunya yang memang sudah saya niatkan sejak lama. Karena walau sering bertemu dan berinteraksi, baik langsung maupun melalui medsos, saya belum pernah berkunjug ke rumahnya.
“Yang luar biasanya, sebagai pemenang Pertempuran Surabaya, tidak ada seorang pun dari para kyai dan santri NU yang mengambil harta rampasan perang atau ghonimah dari kantor-kantor, atau lembaga-lembaga pendidikan, kesehatan, toko-toko, pabrik-pabrik dan tempat usaha lainnya yang milik atau terafiliasi dengan Belanda. Padahal, itu sah saja sebagai pemenang perang,” ujar Prof. Dr. Ahmad Mansur Suryanegara dengan penuh kekaguman.
Lebih Lanjut. Prof. Ahmad Mansur Suryanegara menyatakan bahwa para kyai dan santri NU di Pertempuran Surabaya adalah orang-orang yang ikhlas, yang mencintai bangsa dan tanah airnya. Bahkan setelah pertempuran tersebut, mereka kembali ke pesantren untuk mengajar dan mengaji; tidak menuntut jabatan kepada Pemerintah Pusat atas jasa-jasa mereka di Pertempuran Surabaya. Padahal, mereka layak untuk mendapat jabatan di instansi militer maupun sipil karena tanpa peran para kyai dan santri NU di Pertempuran Surabaya, Indonesia pasti sudah dijajah kembali oleh Belanda yang mendomplengi NICA.
Di dalam buku Api Sejarah. Prof. Ahmad Mansur Suryanegara banyak menulis tentang organisasi NU, peran para kyai dan tokoh NU sebelum dan pasca kemerdekaan dengan data yang valid dan obyektif yang jarang kita temui di banyak buku-buku sejarah Indonesia lainnya. Sebagai orang NU, saya sangat beruntung bertemu dan berguru dengan Beliau. Jazaakallaah khairan, terima kasih, sehat selalu ya, Prof. Baarakallaahu lak! ***