Oleh: Muhammad Rofi`i Mukhlis
Ketua Umum Barisan Ksatria Nusantara/BKN
“Tidak ada paksaan dalam agama. Sungguh telah nyata kenbenaran dan kesesatan. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thagut dan beriman kepada Allah, sesunguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tak akan putus. Allah Maha Mendengar dan Mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 256).
Dari sudut gramatika bahasa Arab tampak bahwa kata “la” dalam ayat di atas termasuk “la linafyi al-jinsi”, dengan demikian berarti menafikan seluruh jenis paksaan dalam soal agama. Ayat ini juga dikemukakan dengan lafzh ‘am. Dalalat lafzh ‘am menurut ushul fikih Hanafiyah, adalah qath’i sehingga tidak mungkin ditakhsish apalagi dinaskh dengan dalil yang zhanni. Ayat ini merupakan teks fondasi atau dasar penyikapan Islam terhadap jaminan kebebasan beragama.
Abu Muslim dan al-Qaffal berpendapat, ayat ini hendak menegaskan bahwa keberimanan didasarkan atas suatu pilihan sadar dan bukan atas suatu tekanan. Menurut Muhammad Nawawi al-Jawi, ayat ini berarti pemaksaan untuk masuk dalam suatu agama tidak dibenarkan.
Jawdat Sa’id dalam bukunya La Ikraha fi al-Din: Dirasah wa Abhats fiy al-Fikr al-Islam menyebut la ikraha fi ad din, qad tabayyana al-rusyd min al-ghayy sebagai ayat kabirat jiddan (ayat universal). Apalagi, menurut Jawdat Sa’id, ayat itu dinyatakan persis setelah ayat kursi yang dianggap sebagai salah satu ayat paling utama. Jika ayat kursi mengandung ajaran penyucian Allah, maka ayat la ikraha fi ad din mengandung penghormatan kepada manusia, yang salah satunya adalah menjamin hak kebebasan beragama.
Dalam menafsirkan ayat ini, bahwa yang dimaskud dengan pemaksaan (al-ikrah) adalah al-ghayy dan ini adalah jalan salah (al-thariq al-khathi). Sedang yang dimaksud dengan tanpa paksaan (alla ikrah) adalah al-rusyd dan ini adalah jalan benar (al-thariq al-shalih). Pengertian ayat ini adalah “tidak ada paksaan dalam, sungguh sudah jelas perbedaan antara tanpa paksaan dan pemaksaan.”
Penjelasan dari ayat tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, ayat ini memberi jaminan agar seseorang tidak dipaksa oleh orang lain tentang suatu hal, termasuk dalam beragama.
Kedua, ayat ini bisa dipahami sebagai kalimat perintah (kalam insya’i) dan sebagai kalimat informatif (kalam ikhbari). Sebagai kalimat perintah, ia menyuruh kepada orang lain agar tidak memaksakan agama kepada orang lain. Sebagai kalam ikhbari, ayat ini memberitahukan bahwa seseorang yang dipaksa masuk pada suatu agama sementara hatinya menolak, maka orang itu tidak bisa dikatakan telah memeluk agam itu. Ini karena agama ada di dalam kemantapan hati bukan hanya dengan ucapan.
Ketiga, tidak ada paksaan dalam beragama sama halnya tidak ada paksaan soal cinta, cinta tidak bisa datang dengan paksaan. Dengan demikian tidak ada agama dengan paksaan sebagaimana tidak ada paksaan dalam cinta.
Keempat, ayat ini melarang membunuh orang lain yang pindah agama, karena ayat ini turun untuk melarang pemaksaan soal agama.
Kelima, orang yang tidak menerima gagasan kebebasan beragama adalah orang yang tidak percaya dengan agama yang dianutnya. Agamanya tidak akan berkembang pesat sekiranya tidak dijalankan dengan paksaan, dengan alasan itu, mereka melakukan pemaksaan bahkan kekerasan agar orang lain masuk ke dalam agama yang dipeluk dirinya,
Karenanya, urusan Ibu Sukmawati pindah agama dari Islam ke Hindu, maka tidak perlu disikapi dengan pendekatan fiqih yang bercorak kekerasan karena yang lebih mashlahat untuk Islam sebagai agama rahmat, pembawa cinta kasih, adalah menyikapinya dengan pendekatan fiqih yang menghormati pilihan seseorang untuk beriman dan beragama sesuai dengan pilihannya sebagaimana yang dijelaskan di atas.
Toh, di dalam ajaran Islam bukankah sudah sangat jelas bahwa tidak ada seorang manusia pun di dunia ini yang punya otoritas dalam pilihan agama seseorang, tetapi Allah SWT yang punya otoritas mutlak untuk memberikan hidayah kepada manusia untuk masuk ke dalam agama Islam dan karenanya Allah SWT jualah yang juga mempunyai otoritas untuk menyesatkan manusia dengan keluar dari agama Islam? *