KH Anwar Musaddad adalah Ketua Kokesin dan Pendiri Hizbullah Priangan (Parahyangan) yang dimakamkan di Komplek Pesantren Al-Musaddadiyah, Jayaraga, Garut.
Pembaca mungkin heran ketika membaca kata ‘diplomat’ di dalam judul tulisan ini. Banyak orang mengenal kiprah KH Anwar Musaddad sebagai seorang Guru Besar, pendiri, sekaligus rektor pertama Institut Agana Islam Negeri (IAIN) Sunan Gunung Djati, Bandung (1968). Beliau juga pendiri Pondok Pesantren dan Yayasan Pendidikan Al-Musaddadiyah di Garut. Sepeninggal beliau pada tahun 2000, kepemimpinan pondok dilanjutkan oleh Dra. Hj. Yies Sa’diyah, M.Pd., dan adik-adiknya. Pesantren ini terus berkembang dengan jumlah siswa dan santri putra dan putri dari berbagai daerah di Indonesia.
Ketika saya menuliskan salah satu sisi keilmuan dan keterampilannya sebagai diplomat, orang mungkin bertanya-tanya, “Kiai Musaddad pernah bertugas di negara mana? Apa jabatan yang diembannya, sebagai atase, konsuler, atau duta besar?” Pertanyaan semacam itu wajar jika seseorang memahami kata “diplomat” sebatas jabatan atau profesi yang diberikan kepada seseorang yang bertugas dalam kegiatan diplomatik.
Dalam perjalanan kariernya, Kiai Musaddad memang tidak pernah menyandang profesi sebagai konsuler atau duta besar. Namun, secara praktik, beliau sudah melaksanakan tugas melebihi tugas pokok dan fungsi seorang diplomat.
Literasi tentang perjalanan keilmuan KH Anwar Musaddad, yang lahir pada 3 April 1909, telah banyak dimuat di berbagai media. Ia pernah bersekolah di HIS (setingkat SD) Kristen, lalu melanjutkan ke sekolah MULO (setingkat SMP) Kristen di Garut, dan kemudian berlanjut di tingkat AMS (setingkat SMA) Kristen di Sukabumi. Ketika sedang bersekolah di AMS, ibunya memintanya pindah ke Pesantren Cipari Wanaraja, Garut, khusus untuk belajar ilmu agama.
Tidak cukup belajar agama Islam di Garut, pada tahun 1930 beliau menimba ilmu ke Mekkah dan bermukim di sana selama 11 tahun di Madrasah Al-Falah. Beliau belajar dari ulama-ulama terkenal masa itu, seperti Sayyid Alwi al-Maliki, Syekh Umar Hamdan, Sayyid Amin Qubti, Syekh Janan Toyyib (Mufti Tanah Haram asal Minang), dan Syekh Abdul Muqoddasi (Mufti Tanah Haram asal Solo). Beliau memiliki kemampuan berbicara dan menulis dalam bahasa Indonesia, Belanda, dan Arab dengan sangat baik. Sebelumnya, selama kurang lebih satu tahun (1930), ia berguru kepemimpinan kepada H.O.S. Tjokroaminoto di Jakarta.
Tahun 1941, beliau pulang ke tanah air tidak sendirian, tetapi membawa serta rombongan warga negara Indonesia yang terlantar yang sudah bertahun-tahun bermukim di Hijaz. Kiai Musaddad membawa serta 630 orang laki-laki, perempuan, dan anak-anak menggunakan kapal S.S. Garoet-Rotterdam. Mereka adalah rombongan terakhir yang ia pimpin sendiri dalam perjalanan selama 26 hari dari Jeddah ke Tanjung Priok. Total ada 2.320 orang dewasa dan 184 anak-anak) yang berhasil dipulangkan kembali ke Hindia BelandaProses pemulangan ribuan warga yang terkatung-katung di negeri Arab itu membutuhkan keterampilan diplomasi yang sangat tinggi. Tidak hanya kemampuan bahasa, tetapi juga pendekatan yang cerdik, menggunakan teknik advokasi yang sangat luar biasa agar program pemulangan tersebut berhasil.
Sisi lain dari perjuangan Kiai Musaddad adalah kiprahnya dalam dunia politik, saat ia ikut membangun sebuah kekuatan sayap militer Masyumi di Priangan yang diberi nama barisan Hizbullah. Saat itu, usianya sekitar 36 tahun. Ia tidak hanya menjadi guru, tetapi juga seorang pelatih, mentor, dan pendamping dalam tugas kemiliteran, sekaligus memberikan bekal ilmu agama. Namanya tercantum dalam struktur tertinggi organsiasi Hizbullah Priangan. Di bawah asuhan Kiai Musaddad, para prajurit Barisan Hizbullah Priangan tidak hanya mahir dalam taktik dan praktik berperang, tetapi juga memahami dengan baik pengetahuan dan amalan agama. Ia turut merasakan kekerasan saat perang benar-benar meletus, misalnya saat markas Hizbullah di Cicadas Bandung dibom oleh tentara sekutu yang diboncengi Belanda.
Sang Diplomat Sejati
Pada saat Kiai Musaddad bermukim di Jeddah (1930–1941), bersamaan dengan itu juga terjadi Perang Dunia II, di mana Kerajaan Belanda sedang mengalami kekalahan dari tentara Jerman, lalu Belanda memindahkan ibukotanya ke London, Inggris. Situasi ini sangat berdampak pada perkembangan ekonomi dan terutama sistem transportasi di Negeri Jajahan Hindia Belanda. Kapal-kapal besar yang biasa lalu-lalang dari Surabaya atau Batavia dari dan menuju Jeddah, menjadi terhambat. Pengiriman uang dan perjalanan orang sangat terganggu. Ribuan warga Indonesia yang bermukim di Saudi Arabia untuk keperluan haji, menuntut ilmu, hingga bekerja, terlunta-lunta karena kehabisa bekal. Mereka hanya menginginkan satu hal, segera pulang ke kampung halaman. Tahun 1940 adalah puncak krisis di Negeri Belanda yang berpengaruh terhadap warga jajahan di Hindia Belanda yang bermukim di Hijaz. Para pemuka mukimin di Hijaz, termasuk Kiai Musaddad, sepakat membentuk wadah perkumpulan yang dinamakan Komite Kesengsaraan Indonesia yang disingkat Kokesin. Kiai Musaddad didapuk menjadi Ketua Kokesin terakhir dan bertugas memimpin rombongan terakhir yang hendak pulang ke tanah air.
Proses pemulangan dengan kapal milik Belanda itu sungguh tidak mudah, mengingat jumlah warga yang terlantar mencapai ribuan. Pada saat itulah kemampuan diplomasi untuk melakukan pendekatan dengan para pihak, baik kepada Konsulat Hindia Belanda yang ada di Saudi Arabia maupun perwakilan pemerintah dan parlemen di Batavia, diuji. Juga dengan para pemuka organisasi Islam yang tergabung dalam Majelis Islam A’la Indoneai (MIAI).
Kiai Musaddad yang pernah menjadi ajudan pribadi H.O.S. Tjokroaminoto, ikut memudahkan hubungan dengan MIAI ini. Maka, saat Kokesin mengirim surat ke tanah air untuk pertama kali dengan judul, Rakyat Indonesia Sengsara Minta Kapal Vrij. Vrij maksudnya adalah cuma-cuma. Segera saja permintaan itu menjadi topik utama para pihak terkait; pemerintah, parlemen, tokoh-tokoh Islam, dan media massa. Isu mukimin terlantar menjadi liputan media hampir sepanjang tahun 1940-1941.
Surat itu juga dikirimkan kepada Raja Ibnu Saud. Dengan berbagai teknik pendekatan diplomasi yang jitu, akhirnya Raja meneruskan permintaan itu kepada Menteri Luar Negeri, Amir Faizal; yang selanjutnya Amir Faizal meminta kepada Konsul Hindia Belanda di Jeddah agar lebih serius mengurusi nasib para mukimin.
Atas kegigihannya, pada tanggal 15 September 1941, rombongan terakhir yang ia pimpin berangkat pulang ke Tanah Air. Perjalanan selama 26 hari di atas kapal itu telah mencatatkan cerita yang begitu syahdu. Kebetulan saat itu berbarengan dengan bulan puasa. Para penumpang kapal harus berpuasa lengkap dengan semua ritualnya, termasuk shalat tarawih, membayar zakat, shalat Idul Fitri hingga menyembelih sapi untuk dimakan bersama-sama. Semua dilakukan di atas kapal Laut. Dan Kapal Laut S.S. Garoet akhirnya bisa berlabuh Tanjung Priok pada 4 November 1941.
Akhir kalam, membaca buku KH Anwar Musaddad, Ketua Kokesin dan Pendiri Hizbullah Priangan, yang ditulis oleh Iip D. Yahya, seakan membaca kisah yang sangat mengharukan. Buku ini berhasil mengungkap sisi terang yang jarang sekali terungkap ke publik. Seperti yang saya tulis di atas, cerita tentang perjalanan keilmuan dan dakwah Kiai Musaddad sudah bisa dengan mudah ditemukan di berbagai media. Namun, sisi keterampilan dan keilmuan dalam bidang diplomasi, ini baru bisa ditemukan dalam buku ini. Buku yang ditulis Iip Yahya ini tidak hanya ditulis dengan pilihan kata yang enak dan tidak hanya berdasarkan cerita dari keluarga atau gosip dari mulut ke mulut. Tulisan di dalam buku ini merujuk pada bacaan yang sangat luas, termasuk kliping koran yang memuat pemberitaan tentang kiprah Kiai Musaddad dari tahun 1930 hingga 1970-an. Sekalipun penulisnya hanya punya waktu singkat untuk riset, tetapi ia berhasil mendapatkan semua sumber rujukan penting tersebut dari Perpustakaan Nasional di Jakarta. Selamat membaca buku yang mampu mengungkap sisi terang dari seorang alim, pejuang, guru, intelektual, sekaligus diplomat sejati.
Penulis: Ahsan Jamet Hamidi, Ketua Ranting Muhammadiyah Legoso dan Wakil Sekretaris LPCRPM, PP Muhammadiyah.